Bangunan Mati, Ataukah Rasa Kita yang Mati? Analisis Ringan di Balik Teras Cihampelas




Narasi seperti ini adalah problematika belantika perpolitikan yang hampir dialami oleh setiap daerah-daerah kita di Indonesia. Ego dan obsesi terhadap legacy yang ingin dibanggakan kelak menjadi bibit unggul dalam menciptakan tren seperti itu. Bibit itu akan tumbuh subur ditopang oleh yang namanya ketidakpatuhan terhadap dokumen RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah). Dokumen ini merupakan produk strategis 20 tahunan yang idealnya jadi pedoman bagi setidaknya 4 kepala daerah yang berbeda (asumsi masing-masing hanya satu periode jabatan).

Jangan sampai RPJPD yang malah “menyesuaikan” visi misi 5 tahunan kepala daerah. Jika RPJPD adalah lokasi tujuan inti bersama, maka RPJMD hanya rute per lima tahun. Jangan biarkan sopir mengubah rute hanya karena dia sedang memegang setir. Solusinya bisa dengan memperkuat legal standing RPJPD melalui Peraturan Daerah yang tegas tanpa kompromi. Sejalan dengan itu, produk lima tahunan RPJMD wajib sinkron secara vertikal dengan RPJPD, dan secara horizontal dengan RTRW dan rencana sektoral lainnya.

Pemerintah daerah juga dapat menginisiasi forum kolaborasi pembangunan lintas periode, bisa terdiri dari tokoh masyarakat, akademisi, praktisi tata kota, perwakilan sektor swasta dan NGO, serta dinas lintas bidang. Tugas mereka jelas, yaitu menjaga keberlanjutan (guardians of continuity) khusus untuk mengawal produk RPJMD baru agar sinkron dengan grand desain kota. Daerah-daerah juga sudah mulai harus membangun budaya birokrasi berorientasi program, bukan figur. 

Ini menjadi penting diwujudkan, mengingat begitu kepala daerah ganti, program-program lama biasanya “dikebiri” atau dicap “basi”. Solusinya pemda dapat membangun sistem penilaian kinerja dinas (OPD) lintas lima tahunan (multi-years indicators), bukan hanya target jangka pendek. Program-program unggulan yang terbukti selaras dengan RPJPD harus tetap dilanjutkan. Jadikan “keberlanjutan” sebagai legacy khas kota. Terapkan sistem review berbasis tim independen, bukan keputusan sepihak. Tetapkan narasi pembangunan jangka panjang, misalnya “Bandung Kota Kreatif”, “Surabaya Kota Berdaya” dan sejenisnya; sehingga pembangunan yang akan datang tidak akan lepas dari tema dari jargon tersebut.

Kembali ke ide pembongkaran Teras Cihampelas dalam tajuk berita di atas, apakah memang diperbolehkan jika pemimpin saat ini membongkar pembangunan yang sudah lalu? Secara hukum memang boleh, namun amat panjang tetek bengek prosedur yang harus dipenuhi: evaluasi kinerja aset dengan sistem audit kinerja dan teknis, penetapan dari DPRD yang membuktikan bahwa memang kawasan itu sudah tidak ekonomis lagi, serta tidak lupa tahap penghapusan aset. Panjang kan?

Lalu sebenarnya apa yang salah dengan proyek itu? Kenapa para PKL yang jumlahnya ratusan itu mau dipindah hanya beberapa bulan ke lokasi yang sudah cantik itu, namun malah kembali lagi ke tempat asal? Seperti yang kita perhatikan di daerah kita juga, PKL sebenarnya bukan sekedar “pedagang”. Mereka adalah gabungan antara kemudahan akses, arus manusia, dan kebiasaan pelanggan. Jadi memindahkan mereka dengan sembrono ke lokasi yang “tidak setara” hanya akan menemui kehampaan.

Selain itu, kebiasaan pemerintah adalah tidak melibatkan mereka (PKL) sejak proses perencanaan awal. Mereka dianggap objek penertiban, bukan subjek ekonomi kota. Memang serba salah sih. Satu sisi pemerintah punya jangka waktu karena berbasis proyek, di sisi lain tidak semua masyarakat bisa diajak akselerasi dalam berkontribusi dalam perencanaan.

Sering saya dapati langsung dalam penelitian, bahwa masyarakat PKL tidak mau dipindah karena lokasi yang ditawarkan, walaupun bagus dan cantik, tapi jauh dari titik pelanggan “fanatik” mereka yang biasanya. Bangunan fisik yang dibangun akhirnya ditinggal pergi, dan parahnya pemerintah tidak ada usaha lanjutan pasca proyek.

So, what next?

Kita perlu mengubah pendekatan dari pola pikir relokasi menjadi pola pikir revitalisasi. Alih-alih menggusur dan memindahkan, gunakan pendekatan penataan berbasis zonasi di lokasi eksisting mereka berjualan. Jika ada bangunan yang terlanjur menjadi “bangunan gagal”. Alih fungsi bukan berarti harus dibongkar. Jadikan pusat aktivitas kreatif dan basis event anak muda. UMKM yang ada didampingi dalam arti sesungguhnya. Bisa juga lokasi itu disulap jadi pusat kuliner malam, jika memang siang kurang “laku”.

Pemerintah daerah bisa memberikan opsi pajak rendah, subsidi sewa, dan sejenisnya yang bisa menarik kembali minat PKL. Rebranding lokasi menjadi tempat baru berbasis kebutuhan warga (ruang kreatif, pasar malam, pusat festival). Ajak swasta kerja sama melalui konsep public-privat partnership (PPP).

Sebelum memutuskan untuk membongkar, mari duduk bersama: arsitek kota, ekonom sosial, sosiolog urban, dan PKL itu sendiri. Barangkali, yang kita butuhkan bukan palu dan belati, tapi lembar perencanaan baru—yang lebih manusiawi dan berakar dari bukti. Bangunan mati bukan akhir cerita kini, tapi mungkin cuma narasi dan konsepsi yang belum selesai ditulis dengan rapi.

Penulis

Villesian
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Posting Komentar