| Terpanggang di rumah sendiri |
Jam 11 siang di Pasar Raya Kota Bima. Udara panas seperti dihembuskan keluar dari oven. Aspal di depan kios memantulkan cahaya silau. Rahmi, pedagang sayur yang sudah 15 tahun berjualan di sini, mengusap keringat yang mengalir dari dahinya. “Biasanya panas nggak seberapa, tapi sekarang, hmm kayak nggak ada ampun,” katanya sambil menuang air ke ember kecil untuk merendam kangkung biar tetap segar.
Di seberang jalan, Abdul, sopir bemo (angkot), terpaksa berhenti sejenak. Udara di dalam kendaraannya seperti berada dalam sauna. Ia membuka semua pintu bemo agar angin masuk, walau sama saja, anginnya tetap terasa hangat. “Kalau sudah siang, bawa penumpang itu berat, panasnya bikin kepala pening," keluhnya.
Kita mungkin menganggap panas di Kota Bima itu biasa. Tapi panas ekstrem seperti sekarang bukan cuma soal gerah. Dampaknya bisa serius: risiko dehidrasi, hipertemia, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, hingga gagal ginjal. Tubuh manusia punya batas kemampuan menahan panas, dan saat suhu dan kelembapan mencapai titik tertentu, keringat pun tidak lagi mampu mendinginkan badan.
Di kota, situasinya makin parah karena efek "urban heat island". Fenomena ini adalah kondisi dimana suhu wilayah perkotaan lebih panas dari wilayah pedesaan di sekitarnya. Ini bisa terjadi karena banyaknya material pembangunan yang tidak menyerap panas, dan makin berkurangnya pepohonan (vegetasi) hijau.
Kita tahu sendiri kan di daerah kita ini: pohon rindang makin jarang di pusat kota, jalan dan halaman dipenuhi beton dan aspal yang menyimpan panas, rumah-rumah di kawasan padat penduduk dibangun rapat-rapat tanpa ventilasi, serta ruang terbuka hijau masih minim dan lebih sering berada di kawasan tertentu saja.
Polusi kendaraan dan aktivitas manusia menjadi "perangkap" panas, sehingga siang hari jadi “kompor bertungku”. Sementara kondisi malam tetap gerah karena panasnya terjebak pada bangunan dan jalan.
Yang paling terdampak tentu warga ekonomi bawah—pekerja lapangan, pedagang kaki lima, pengemudi ojek, hingga anak sekolah di kelas yang hanya bertumpu pada kipas angin yang “cuma muterin udara panas”. Sementara mereka yang mampu bisa berlindung di ruangan ber-AC, bepergian dengan mobil, atau “ngadem” di kafe. Walaupun pemilik ruangan ber-AC bukan yang "paling terhormat". Keberadaan AC justru menjadi penambah beban dalam peningkatan suhu bumi. Kandungan freon langsung berkontribusi bagi "bocornya" lapisan ozon kita.
Iklim panas ini memperlebar jurang kenyamanan antarwarga. Sayangnya di negeri kita, bukan hanya Kota Bima, isu ini belum masuk prioritas serius pemerintah. Tidak ada regulasi atau program khusus untuk mengantisipasi panas ekstrem. Tidak ada sistem peringatan dini, tidak ada identifikasi zona rawan, dan penambahan ruang hijau masih belum masif "nge-hook" pada tujuan pengurangan urban heat tadi.
Padahal kota-kota lain di dunia sudah membentuk Heat Action Plan dan bahkan menunjuk Chief Heat Officer untuk mengoordinasikan respons cepat. Kalau di Eropa sana, suhu 36°C saja sudah bikin pemerintah ribut, sekolah diliburkan, bahkan destinasi wisata ditutup demi keselamatan. Lalu bagaimana dengan kita?
Kita sering bangga menyebut Kota Bima punya matahari 13 biji yang “ramah untuk jemur ikan dan hasil pertanian”. Tapi kalau kita tak waspada, panas ini bisa jadi bencana yang perlahan menggerogoti kesehatan warga dan masa depan kota.
Langkah yang bisa diadaptasi di Kota Bima antara lain:
1. Sistem peringatan dini cuaca panas lewat SMS, WA, atau aplikasi lokal;
2. Penghijauan massal di jalan utama, kawasan sekolah, dan pasar;
3. Ruang terbuka hijau merata di setiap kelurahan;
4. Anjungan air minum umum di titik keramaian;
5. Kendaraan pendingin keliling untuk penanganan heat stroke di kawasan padat;
6. Material bangunan ramah panas di proyek rumah bantuan pemerintah.
Kita harus mulai "aware" dengan bencana tak terlihat. Bencana banjir, gempa bumi, dan kebakaran mungkin sangat menakutkan. Namun bencana tidak kasat mata seperti urban heat ini justru sering membuat terlena. Risikonya bisa berlipat ganda.
Kota yang sehat bukan yang punya banyak AC, tapi yang lingkungannya mendinginkan semua warganya. Musim kita makin mengalami anomali, sudah tidak bisa ditebak seberapa deras musim penghujan dan seberapa panjang musim kemaraunya.
Selama ini, kita selalu mengkhawatirkan kelebihan air saat musim hujan, dan menangisi kekurangan air di musim kemarau. Maka sudah saatnya bersatu padu menawarkan solusi kongkrit untuk masa depan kota kita—sebelum kita semua benar-benar “terpanggang” di rumah kita sendiri.