Seringkali saya memperhatikan pihak vendor kelistrikan yang melakukan pemeliharaan rutin kabel listrik kota dengan menebang banyak sekali ranting pohon rindang di sepanjang jalan arteri. Kadang sering merenung, kenapa tidak menerapkan teknologi kabel bawah tanah saja, seperti yang sudah lazim dilakukan di kota-kota besar? Selain bisa mempertahankan estetika kota, tentunya kita tetap bisa "ngadem" di balik rindangnya pepohonan. Jelas kita paham bahwa butuh waktu puluhan tahun untuk melihat tunas pohon yang kita tanam akhirnya tumbuh kokoh tak tergoyahkan. Satu sisi kita sering mengeluh matahari kota kita yang "ada 13 biji", namun di sisi lain kita tidak pernah segan menghilangkan "penyerap panas alami" ini dari hadapan kita. Benar nggak?
Seringkali saya memperhatikan pihak vendor kelistrikan yang melakukan pemeliharaan rutin kabel listrik kota dengan menebang banyak sekali ranting pohon rindang di sepanjang jalan arteri. Kadang sering merenung, kenapa tidak menerapkan teknologi kabel bawah tanah saja, seperti yang sudah lazim dilakukan di kota-kota besar? Selain bisa mempertahankan estetika kota, tentunya kita tetap bisa "ngadem" di balik rindangnya pepohonan. Jelas kita paham bahwa butuh waktu puluhan tahun untuk melihat tunas pohon yang kita tanam akhirnya tumbuh kokoh tak tergoyahkan. Satu sisi kita sering mengeluh matahari kota kita yang "ada 13 biji", namun di sisi lain kita tidak pernah segan menghilangkan "penyerap panas alami" ini dari hadapan kita. Benar nggak?
Pengantar
Kepedulian terhadap lingkungan,
harus saya katakan, sebagai parameter tertinggi dari sebuah daerah yang maju. Sebab,
pembangunan berkelanjutan yang digaungkan dalam Sustainable Development
Goals (SDGs) hanya akan tercapai dengan menyelaraskan tiga elemen; ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Percuma saja ekonomi suatu daerah dipacu setinggi
langit, jika inklusi sosial mandeg dan perlindungan lingkungan hidup
dipandang sebelah mata. Sudah banyak sekali kasus kota-kota yang “gagal”, hanya
karena terlalu fokus membangun ekonominya saja. Tentu kita tidak ingin Kota
Bima menyusul mereka. Entitas yang paling mudah dinilai untuk mengukur
keseimbangan antara elemen ekonomi-sosial-lingkungan adalah pembangunan infrastruktur
dasar: sanitasi, air minum, dan persampahan. Bagaimana perkembangan
pembangunannya? Bagaimana sikap masyarakat kita terhadap infrastruktur dasar tersebut?
Apakah sudah mencerminkan kedewasaan dalam aspek sosial dan lingkungan? Menarik
untuk diulas.
Selayang Pandang Kota Bima
Kota Bima dan masyarakatnya secara administratif terhitung masih sangat belia. Kota di ujung timur Provinsi Nusa Tenggara Barat ini terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002, sebagai hasil pemekaran dari saudara kandungnya, Kabupaten Bima. Wilayahnya tidak luas, hanya sekitar 222,25 kilometer persegi. Pada saat pemekaran hanya terdiri dari 3 kecamatan. Gambarannya, jika kita menjelajahi ujung selatan hingga ujung utaranya, hanya akan menempuh jarak 22 kilometer. Sementara ujung timur-baratnya lebih pendek lagi, dengan menempuh jarak 10 kilometer saja, kita akan sampai di penghujung batas kotanya. Sangat sempit, bahkan lebih dari separuhnya berkontur gunung dan bukit.
![]() |
Ilustrasi Foto Udara Kota Bima |
Lahan untuk permukiman dan mendirikan
usaha tentu sangat terbatas. Lebih dari itu, belum banyak potensi yang ter-ekspose
untuk dioptimalkan dalam proses pembangunan. Kapasitas fiskal daerah sangat
minim. Kantong-kantong ekonomi pun praktis hanya mengandalkan sektor primer
yang telah bertahan selama bertahun-tahun. Ini artinya apa? Secara ekonomi,
kita masih jauh dari harapan, namun bukan berarti tidak bisa diharapkan. Toh,
kota-kota seperti Hyderabad, Mumbai, Manila, Riyadh; tidak luas, bahkan ada
yang luasnya jauh di bawah Kota Bima, namun semua masuk dalam daftar kota
paling cepat berkembang di dunia tahun 2024. Tentu mereka punya senjata
pamungkas untuk “menaikkan level” kota masing-masing. Satu yang bisa pelajari
adalah cara mereka menggenjot elemen sosial (Sumber Daya Manusia) dan
kepeduliannya terhadap lingkungan. Sebab, pundi-pundi ekonomi sangat mudah dibentuk
di tengah tatanan sosial masyarakat yang teratur dan kecintaan terhadap lingkungan
yang tinggi.
Perkembangan Pembangunan Infrastruktur
Dasar
Pada periode sepuluh tahun
pertama pemekaran (2002-2012), infrastruktur dasar seperti sanitasi, air minum,
dan persampahan menjadi tantangan yang luar biasa, karena memang infrastrukturnya
masih minim. Sepuluh tahun awal, seperti halnya daerah pemekaran lain di
Indonesia, Pemerintah Kota Bima sangat disibukkan dengan urusan penyerahan
aset, penyepakatan peta batas-batas wilayah, penataan birokrasi internal, serta
permasalahan mendesak lainnya. Belum nampak ada sentuhan yang signifikan
terhadap sanitasi, air minum, dan persampahan. Jumlah rumah tangga yang buang
air besar sembarangan (BABs) masih sangat banyak. Sasarannya adalah
sungai-sungai, selokan, lahan-lahan kosong. Sebagian besar masyarakat masih
menggunakan jamban (toilet) yang tidak layak. Akses terhadap sumber air bersih
pun masih sangat terbatas. Sumber air minum saat itu masih bergantung pada
sumur tradisional dan aliran perpipaan yang belum diolah secara standar. Begitu
pula untuk persampahan. Lokasi pengelolaan sampah belum terkelola dengan baik.
Pemandangan sampah yang berserakan di jalan dan sungai masih menjadi
pemandangan sehari-hari. Akhirnya, semua mata rantai ini menyebabkan risiko
kesehatan yang sangat tinggi.
Memasuki periode tahun 2013-2019,
Kota Bima mulai mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah pusat dalam
mendukung program pembangunan sanitasi, air minum, dan persampahan. Beberapa
kebijakan krusial mulai diperkenalkan oleh mereka, salah satunya berbentuk
Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Program ini berusaha
melibatkan langsung masyarakat dalam pembangunan infrastruktur sanitasi. Pada
periode ini, sudah mulai ada upaya lebih baik dalam membangun infrastruktur
sanitasi di wilayah-wilayah padat penduduk, meskipun akses ke jamban layak
belum merata. Berbagai proyek pembuangan air limbah rumah tangga sudah mulai
intens direncanakan dan terealisasi di beberapa kawasan. Konsultan dari Belanda
(Y-Consultant) tercatat sebagai motor penting dalam pembangunan di periode ini.
Perusahaan ini ikut melakukan intervensi positif dalam pembangunan infrastruktur
sanitasi dan persampahan. Menurut data dari Dinas PUPR Kota Bima, pada tahun
2013, Y-Consultant menjadi inisiator pembangunan Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) Komunal di Lingkungan Bonto Kelurahan Kolo. IPAL Komunal dengan
cakupan pelayanan 150 Kepala Keluarga (KK) ini menjadi pilot project penting
yang menandai dimulainya pembangunan infrastruktur sejenis di tahun-tahun
setelahnya.
Terbukti di tahun yang sama (2013), pemerintah kota mendapat bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membangun MCK++ (MCK Plus-Plus) di Kelurahan Tanjung, Nungga, Melayu, dan Matakando. Konsep MCK++ dan IPAL Komunal lebih dipilih karena dapat digunakan bersama oleh banyak rumah tangga sekaligus. Hal ini menjadi strategi yang logis di tengah keterbatasan dana pembangunan serta keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap rumah. MCK plus-plus adalah fasilitas umum yang menyediakan sarana mandi, cuci, kakus, dan air bersih sekaligus. Selain itu, MCK plus-plus juga memiliki fasilitas pengelohan limbah di lokasi yang sama. Terhitung hingga tahun 2018, Pemerintah Kota Bima terus membangun infrastruktur sanitasi berbentuk MCK++ dan IPAL komunal di masing-masing kelurahan, dengan pengguna minimal 50 Kepala Keluarga.
Pengelolaan air minum mulai
berkembang, meskipun masih dengan bayang-bayang masalah kepemilikan aset
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bima yang beroperasi di wilayah Kota Bima.
Tantangan distribusi air yang merata ke seluruh wilayah kota selalu menjadi
topik hangat setiap tahunnya. Pasokan air dari sumber-sumber mata air
pegunungan terus diupayakan kala itu, dengan kerja sama antara PDAM dan Dinas
PUPR. Sistem perpipaan juga mulai diperbaiki. Namun masalah bencana selalu
momok menakutkan, baik itu berupa kekeringan di saat kemarau panjang, maupun
kebanjiran di saat musim penghujan. Tentu para pembaca masih ingat dengan
musibah banjir besar di akhir tahun 2016. Kota lumpuh total. Infrastruktur
dasar dengan nilai aset miliaran rusak parah, termasuk pipa-pipa air bersih dan
sanitasi. Bayangkan, pembangunan yang dirajut perlahan, ternyata harus dimulai
lagi dari awal.
Pada periode ini pula,
pengelolaan sampah sudah nampak terstruktur dengan baik, dengan adanya penetapan
titik-titik pengumpulan sampah dan penambahan armada truk pengangkut sampah. Namun,
pengelolaan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) masih memerlukan peningkatan
signifikan, karena banyaknya sampah yang tidak dikelola dengan metode sanitary
landfill, menyebabkan polusi udara dan tanah yang berpotensi meluas ke
permukiman masyarakat. Sampah-sampah dengan tonase yang tinggi setiap harinya
hanya ditumpuk di TPA tanpa pengolahan lanjutan.
Memasuki periode 2020-2024,
pembangunan di bidang sanitasi, air minum, dan persampahan makin digenjot dan
dipercepat, sesuai dengan arahan-arahan kebijakan nasional seperti Program Percepatan
Penurunan Stunting, Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), Sanitasi Lingkungan
Berbasis Masyarakat (SLBM), dan juga Sustainable Development Goals
(SDGs) yang menargetkan 100 persen akses universal terhadap sanitasi dan air
minum di tahun 2030. Kota Bima terus membangun fasilitas sanitasi, termasuk
optimalisasi bangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) sekaligus
membentuk unit kerja khusus untuk menangani penyedotan tinja di setiap rumah
dan perkantoran. Pada periode ini mulai dilakukan pembangunan masif jamban
layak individual di setiap rumah, karena hasil evaluasi menunjukkan bahwa tipe
jamban komunal (pakai bersama) sering terkendala kurangnya sumber air dan
kesadaran masyarakat untuk memelihara bersama. Saat ini, sebagian besar rumah
tangga di kota kini memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang layak, namun
masih ada wilayah-wilayah pinggiran yang memerlukan perhatian lebih.
Upaya pemeritah kota untuk
meningkatkan pelayanan air minum di beberapa tahun terakhir ini, salah satunya
dengan membentuk unit tersendiri (UPT) yang khusus menangani air minum. Layanan
terus diperbaiki dengan menitikberatkan pada pencarian alternatif sumber air
baru dan pemeliharaan jaringan yang sudah terbangun. Beberapa wilayah yang
sulit terjangkau masih bergantung pada sumur pribadi. Investasi dalam teknologi
pengolahan air dan penyediaan air bersih, seperti desalinasi air laut dan
pengolahan air limbah, menjadi topik yang diperbincangkan untuk masa depan.
Pengelolaan sampah di Kota Bima
telah lebih baik dengan adanya peraturan daerah tentang pengelolaan sampah yang
lebih ketat. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah industri semakin
terintegrasi. Upaya untuk mendaur ulang serta mengurangi penggunaan plastik
terus diintensifkan, namun tantangan dalam mengelola volume sampah yang terus
meningkat tetap menjadi masalah.
Elemen yang Terlupakan: Penyadaran
Sosial dan Edukasi Lingkungan
Berbagai pembangunan fisik yang
diinisiasi pemerintah kota di dua dekade awal pemekaran memang telah,
sedikit-banyak, membawa transformasi yang cukup signifikan. Namun ternyata
transformasi sosial-lingkungan tidak lantas melaju sama cepat dan bagusnya
dengan sisi fisik infrastruktur. Banyak sekali realitas ditemukan selama
perjalanan waktu, yang menunjukkan bahwa daerah kita sesungguhnya masih
tertinggal puluhan tahun dari kota-kota maju di luar sana.
Realitas pertama: IPAL Komunal
dijadikan sebagai “tempat sampah”. Saat dilakukan monitoring dan penyedotan
tinja, di dalam tangki pembuangan tinja ditemukan banyak sekali limbah pampers,
pambalut, celana dalam, tisu, dan lain sebagainya. Hal ini membuat tangki
septik cepat penuh dan tersumbat. Muncullah bau-bau tidak sedap yang mengganggu
lingkungan hunian masyarakat sendiri.
Realitas kedua: sejak awal
dibangun IPAL Komunal, ada pengurusnya yang berbentuk Kelompok Masyarakat.
Umumnya, tugas mereka adalah mewakili masyarakat memelihara infrastruktur IPAL
agar tidak terjadi kerusakan dan melakukan perbaikan. Tentu saja dengan menarik
iuran yang sangat ringan dari masyarakat pemanfaat IPAL Komunal. Namun,
realitasnya selalu sama hampir di setiap kelurahan yang memiliki IPAL Komunal,
masyarakat hanya ingin menggunakan, namun enggan membayar iuran bersama.
Jadilah penggunaan dan pemeliharaannya tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Realitas ketiga: sungai dan
selokan masih menjadi tempat buang hajat masyarakat bantaran. Jumlahnya terus
berkurang, karena telah selama bertahun-tahun menjadi target pemberian bantuan sanitasi.
Namun yang masih menjadi pemandangan di beberapa kelurahan adalah toilet-toilet
individu yang dibangun oleh masyarakat tidak memiliki tangka septik, namun pipa
pembuangannya langsung diarahkan ke sungai atau selokan (parit). Ditemukan juga
fakta mencengangkan, ada beberapa orang yang sudah diberi bantuan jamban di
rumahnya, malah tetap memilih sesekali buang hajat di sungai, karena menurutnya
lebih segar dan bisa sekaligus mandi serta mencuci. Bayangkan saat musim
kemarau, air sungai mengering, lantas tinggal menyisakan kotoran-kotoran
manusia yang berbau dan beracun mengering bersama lumpur sungai.
Realitas keempat: butuh pipa-pipa
dengan panjang puluhan kilometer untuk mengalirkan air dari sumber alami di
pegunungan hingga sampai ke permukiman masyarakat paling ujung. Ketika banyak
perlintasan pipa yang bocor dan atau sengaja dibocorkan untuk digunakan oleh
oknum yang nakal, seperti realitas yang terjadi kini, maka air bisa saja tidak
sampai dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di hilir. Masyarakat yang tidak
kebagian air akan berteriak dan menunjuk pemerintah. Pemerintah akan berusaha
mengidentifikasi dan memperbaiki titik kebocoran. Beberapa hari akan ada ulah
lagi, diperbaiki lagi, dan begitu seterusnya hingga terjalin siklus yang
“membosankan”.
Realitas keempat di atas masih
mending. Namun pada realitas kelima, lebih parah lagi. Jika terjadi kelangkaan
air bersih karena kekeringan dan iklim panas yang ekstrim, maka dinas teknis
pemangku urusan air minum kota yang dipersalahkan dan dikambinghitamkan. Terus
harusnya salahkan siapa? Tidak harus menyalahkan siapa-siapa. Tapi kita harus
menyadari bahwa urusan air bersih atau air minum ini adalah sebuah sistem besar
yang tidak ujug-ujung langsung ada dan kita nikmati. Sistem itu
menyangkut daerah hulu hingga ke hilir. Hulunya dimana? Ya, di atas sana.
Kawasan seputar sumber air pegunungan. Bahkan daerah hulu kita adalah lintas
daerah, di Kabupaten Bima. Seberapa besar komitmen kita untuk bekerja sama
memelihara pepohonan dan hutan yang ada di wilayah lintas daerah ini sangat
menentukan kualitas dan kuantitas air yang kita terima di wilayah Kota Bima.
Sudahkah ada komitmen bersama pengambil kebijakan di bidang kehutanan dan
lingkungan hidup kita dengan daerah Kabupaten untuk melindungi dan menjaga
keberlanjutan mata air kita? Sudahkah kita bisa menahan laju deforestasi
(penebangan hutan) di daerah yang ada di luar wilayah kita namun sangat
mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari? Sudahkah kita gunakan makna pepatah
“mati satu tumbuh seribu” untuk hutan-hutan lintas daerah kita? Mari merenung
bersama.
Realitas keenam: pantai, sungai,
dan laut masih menjadi salah satu tempat “favorit” untuk membuang sampah. Entah
sensasi apa yang dirasakan oleh masing-masing diri kita yang masih tanpa malu
membuang sampah begitu saja di pantai, sungai, dan laut yang jelas-jelas
tertera plang (papan informasi) peringatan untuk tidak membuang sampah disitu,
beserta dengan hukuman pidana yang bisa menjerat. Sensasi apa yang membuat setiap
diri kita membuang sisa sampah plastik yang notabene puluhan tahun tidak akan
bisa terurai oleh alam dengan begitu cuek, padahal di depan batang hidung kita
sudah disediakan tempat sampah? Sensasi macam apa itu? Tolong disebutkan.
Realitas ketujuh: berdasarkan
pendataan kinerja pengelolaan sampah oleh Pokja PPSP di tahun 2023, diperoleh
bahwa penanganan sampah sebanyak 67,5%. Artinya masih ada sejumlah lebih dari
32% sampah yang tidak terkelola. Jauh lebih penting lagi adalah bahwa aspek
pengurangan sampah belum menyentuh 1% dari total sampah yang dihasilkan. Ini
artinya apa? Kesadaran kita untuk mengurangi sampah sejak di tingkat rumah
tangga masih sangat minim. Kita belum aware untuk memilih dan memilah
sampah berdasarkan jenisnya mulai dari rumah masing-masing. Misalnya, sampah
anorganik seperti botol dan plastik dipisahkan untuk digunakan kembali atau
diantarkan untuk didaur ulang. Tindakan itu akan sangat membantu bagi
pengelolaan sampah untuk satu kota di TPA nantinya.
Sebenarnya jika diulik lebih
dalam, masih banyak realitas-realitas yang menggelitik kita semua di
masyarakat. Keseluruhan realitas yang nampak menjadi cambuk bagi kita untuk
lebih percaya bahwa perkembangan lini kehidupan sosial dan lingkungan perlu
kerja ektra dan keterlibatan semua unsur kota tanpa terkecuali, dan dengan
melepaskan pandangan-pandangan skeptis yang tak berdasar. Sebab pembangunan
elemen sosial dan lingkungan jauh lebih sulit di atas pembangunan kota secara
fisik.
Mengapa Pembangunan Ketiga
Sektor Itu Sangat Krusial?
Kota yang sehat adalah kota yang
produktif. Pembangunan infrastruktur sanitasi, air minum, dan persampahan yang
memadai akan menurunkan biaya kesehatan, meningkatkan produktivitas tenaga
kerja, dan membuka peluang ekonomi baru di sektor pengelolaan sumber daya.
Lebih dari itu, kota yang mampu menyediakan lingkungan yang bersih dan sehat
akan menjadi tempat yang lebih menarik bagi investor dan penduduk, yang pada
akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pembangunan
infrastruktur-infrastruktur ini secara inklusif artinya memberikan layanan ke
semua lapisan masyarakat, terutama di daerah pemukiman kumuh dan terpencil,
membantu mewujudkan kesejahteraan yang merata dan meningkatkan kualitas hidup secara
keseluruhan.
Komitmen Bersama, Kota untuk
Semua
Berdasarkan realitas-realitas
yang diuraikan sebelumnya, kini kita harus sama-sama menyadari bahwa
pembangunan fisik harus diikuti dengan edukasi dan penyadaran secara masif.
Edukasi sosial dan lingkungan harus dilakukan bahkan 10 kali lipat lebih kencang
dari pembangunan fisiknya. Jika dalam dua dekade ini perubahan secara
sosial-lingkungan belum nampak signifikan, berarti memang kita semua belum
memprioritaskannya. Kalau pun sudah, artinya cara atau metode yang kita lakukan
belum benar-benar tepat. Pendanaan kegiatan berupa edukasi, sosialisasi,
bimtek, monitoring, pendataan, pemberdayaan, dan sejenisnya; sudah semestinya
mendapat porsi yang jauh lebih besar dibanding pembangunan secara fisik.
Hasillnya memang tidak akan nampak instan dan langsung berbentuk seperti
bangunan-bangunan fisik, namun paling tidak generasi kita akan menuai manisnya
kelak.
Daerah kita butuh banyak sekali
gebrakan inovatif untuk menuju titik putar balik kemajuan di bidang sosial dan
lingkungan. Cara-cara biasa dan konvensional tentu sudah tidak bisa digunakan
berulang di tengah kondisi masyarakat kita yang seperti ini. Kita butuh
anak-anak muda pemikir revolusioner untuk lingkungan macam Pandawara Group,
Lampung Sweeping Community, Ruang Pangan, Bank Sampah Emak, WALHI, dan
sejenisnya. Kita butuh anak-anak muda yang mengedepankan pikiran untuk
bagaimana berkontribusi untuk sosial dan lingkungan, ketimbang hanya untuk
keuntungan pribadi dan sesaat. Kita butuh pemikir-pemikir integratif untuk
birokrasi, yang dapat menggulirkan konsep “Penta Helix” dengan benar sesuai
dengan role-nya, yaitu kerja sama multipihak (pemerintah, akademisi, perusahaan,
komunitas, dan media) yang menjadi katalisator pembangunan kota. Kerja sama
tidak hanya dalam internal kota, namun lebih dari itu bersama dengan pemerintah
lintas daerah. Tentu konsep dan koordinasi tidak hanya berlangsung di atas
meja, namun benar-benar termanifestasikan ke dalam aksi nyata. Nota-nota
kesepahaman dan kerja sama antara pihak-pihak ini sudah wajib kita galakkan
untuk diarahkan dalam menyukseskan edukasi sosial dan lingkungan yang kita
ingin tuju. Ruang-ruang diskusi untuk
ini harusnya terbuka sangat lebar dan hanya dengan satu kepentingan bersama, bahwa
kita ingin melihat kota kita bersaing dengan kota-kota dunia.
Kesimpulan
Infrastruktur sanitasi, air
minum, dan persampahan bukanlah elemen pinggiran, melainkan inti dari
keberlanjutan kota dan kesejahteraan masyarakat. Ketiganya harus diprioritaskan
dalam perencanaan pembangunan untuk mencapai kota yang sehat, layak huni, dan
berkelanjutan. Tanpa pengelolaan yang baik dalam tiga sektor ini, kota akan
menghadapi tantangan kesehatan, sosial, dan lingkungan yang semakin besar.
Namun seiring dengan pembangunan fisik yang masif di dua dekade terakhir, kita
harus merenung dan meramu kembali strategi yang diterapkan dalam pembangunan
kota. Sebab ruh pembangunan kita seakan tidak sempurna tanpa penyadaran sosial
dan edukasi lingkungan. Saat ketiganya berjalan seimbang dan penuh harmoni,
maka Kota Bima akan menjadi salah satu cikal bakal kota dengan perkembangan
tercepat di dunia.
(telah dimuat dalam Harian Kahaba Bima, Tanggal 18 Oktober 2024)
Kita sejatinya belum begitu sadar
akan resiko dan bahaya dari isu tentang perubahan iklim. Kita hanya sebatas memahami
bahwa perubahan iklim dan pemanasan global menyebabkan kegerahan yang meningkat
di sekitar hunian. Padahal itu hanya segelintir kecil dari dampak masif yang
ditimbulkan, selain dampak yang lebih menyeramkan, seperti badai yang lebih
parah, peningkatan kekeringan, peningkatan suhu dan volume air di lautan,
kepunahan spesies hewan dan tumbuhan, kekurangan pangan (kelaparan), resiko kesehatan
tinggi, serta kemiskinan yang berlarut-larut. Tidak heran jika isu ini semakin
mengkhawatirkan bagi negara-negara dunia. Aksi global untuk mengatasi dampak parah
perubahan iklim telah disepakati dan tercantum sebagai sasaran nomor 13 dari
Sustainable Development Goals (SDGs).
UNDP mencatat bahwa isu perubahan
iklim telah mengakibatkan kerugian rerata tahunan sebesar ratusan miliar dollar.
Lebih parahnya lagi, dampak bencana geo-fisik antara tahun 1998-2017 telah
mengakibatkan 1,3 juta orang meninggal dan 4,4 miliar orang terluka (UNDP, 2018).
Sangat mencengangkan bukan? Kesepakatan global dari negara-negara dunia masih menyisakan
optimisme, dengan kemauan politis yang kuat, kerja kolektif, serta ketersediaan
dana yang memadai; maka masih mungkin untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata
global sebesar 2 derajat celcius. Sasaran kongkritnya adalah dengan mengurangi
emisi CO2 global sebesar 45% antara tahun 2010-2030, dan harus
mencapai 0% di tahun 2050. Semua itu bertujuan agar mempertahankan suhu dunia
tidak lebih dari 20 Celcius. Sehingga ketika dikonversi dalam benefit
keuangan, manfaat ekonomi yang dirasakan setidaknya mencapai 26 Triliun Dollar
pada tahun 2030.
Senyawa Kontributor Perubahan
Iklim
Beberapa referensi menunjukkan
bahwa beberapa senyawa yang dihasilkan dari kegiatan manusia di bumu menjadi kontributor
besar terhadap isu perubahan iklim. Kita kadang tidak menyadari bahwa
senyawa-senyawa kontributor tersebut sangat dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari. Pada saat yang sama, kita seakan tidak mampu berkutik ketika
diminta harus beralih dari penggunaan alat-alat penyebab munculnya senyawa kontributor
tersebut.
Berdasarkan fakta yang diungkap
tersebut, kita dapat melihat bahwa senyawa Karbondioksida menjadi kontributor
terbesar dalam pemanasan global, yang merupakan cikal-bakal perubahan iklim
ekstrim. Kontribusi negatif yang diberikan itu mencapai 61 persen. Sangat
mendominasi! Ada pun sumber emisinya berasal dari pembakaran dengan bahan dasar
fosil dan juga penebangan hutan secara liar. Betapa tidak, kedua aktivitas itu telah
dilakukan secara masif dan menjadi “mata rantai” yang sulit dihentikan pada setiap
negara. Selain persentase-nya mendominasi, kita lebih menitikberatkan pada permasalahan
yang disebabkan oleh senyawa karbon, karena sampel kota yang ingin kita bahas
dalam tulisan ini adalah kota dengan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon
untuk iklim yang lebih ramah untuk kehidupan mereka.
Indonesia sendiri telah menunjukkan
komitmen yang selaras dengan dunia global terkait dengan penanganan perubahan
iklim. Mulai tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 17 Tahun
2004 Tentang Pengesahan Protocol Kyoto mengenai Kerangka Kerja Konvensi
Perubahan Iklim. Setelah itu, pada tahun 2011 pemerintah juga mengeluarkan
Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK). Selanjutnya, pemerintah
juga menerbitkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Terbaru,
tahun 2016 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang
Pengesahan Paris Agreement tentang Konvensi Perubahan Iklim.
Namun sayangnya, penelitian di
level “akar rumput” menunjukkan bahwa literasi kita tentang apa itu perubahan
iklim dan betapa mengerikan dampaknya, ternyata masih sangat rendah. Survei
yang dirilis tahun 2021 menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang Indonesia mengaku
khawatir dengan perubahan iklim namun tidak paham atau minim wawasan mengenai
perubahan iklim itu sendiri. Selain itu, lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit
dari responden yang mengira bahwa perubahan iklim adalah proses alamiah dari
bumi kita sendiri.
Komitmen Positif dari San
Fransisco Bay Area
San Fransisco Bay Area merupakan wilayah
administrasi yang terdiri dari 9 kabupaten di bawah negara bagian California.
Wilayahnya berada dan berbatasan langsung dengan pantai, sehingga sering disebut
dengan “Bay Area” saja. Daerah ini seperti pengelompokan (aglomerasi) pusat
pembangunan layaknya Jabodetabek di Indonesia. Kabupaten yang ada di dalamnya
terdiri dari Alameda, Contra Costa, Marin, Napa, San Mateo, Santa Clara, Solano,
Sonoma, dan San Fransisco. Total populasi wilayah ini mencapai 7,52 juta jiwa.
Menariknya adalah wilayah ini
menjadi daerah penyangga Amerika Serikat dari segi ketahanan lingkungan. Secara
ekologis, disana sangat kaya akan hutan-hutan alam yang berfungsi menyaring
polusi, serta masih banyak spesies langka yang menjadikannya habitat alami. Iklimnya
sangat kondusif sebagai tempat rekreasi dan refreshing di tengah penatnya
kehidupan pusat ekonomi AS. Namun permasalahan perubahan iklim akibat kehidupan
modern mulai mengintai kehidupan di wilayah ini. Salah satunya karena
penggunaan pemanas ruangan dengan bahan bakar fosil (gas dan minyak). Penggunaan
pemanas ruangan yang masif menjadi penghasil gas karbon dan nitrogen oksida.
Menurut penelitian ilmiah di sana, bangunan-bangunan yang menggunakan pemanas
ruangan tidak ramah lingkungan menghasilkan polusi Nitrogen Oksida (NOx)
delapan kali lebih tinggi dari pada menggunakan sumber listrik.
Mengantisipasi permasalahan yang
kian berdampak buruk, para pemimpin di wilayah Bay Area segera mengambil langkah
visioner berupa penetapan aturan tentang standar kualitas udara dan pembatasan
penggunaan pemanas yang tidak ramah iklim. Ini adalah aturan yang pertama untuk
California. Keinginan pemerintah eksekutif pun didukung penuh oleh Dewan
Legislatif mereka. Secara berangsur-angsur masyarakat harus mengganti pemanas
ruangan mereka dengan sumber listrik ramah lingkungan hingga tahun 2027 nanti. Bagi
masyarakat yang tidak mampu membeli atau mengkonversi alat pemanas mereka, maka
akan diberikan subsidi besar-besaran oleh pemerintah. Kebijakan baru ini
diharapkan dapat mencegah serangan penyakit pernapasan dan berkurangnya tingkat
kematian di wilayah Bay Area. Udara dalam rumah pun lebih lebih sehat dan segar
untuk dihirup.
https://www.spur.org/news/2024-03-05/affordable-transition-zero-pollution-climate-friendly-homes-bay-area |
Ada sekitar 585 ribu rumah tangga
di Bay Area yang dianggap berpenghasilan rendah, 40 persen-nya adalah pemilik
rumah, sementara 60 persen-nya adalah penyewa rumah. Transisi penggunaan pemanas
yang lebih ramah lingkungan didukung oleh perusahaan listrik negara mereka yang
berkomitmen untuk mengatur ulang tarif dasar listrik bagi mereka yang
berpenghasilan rendah. Jadi, selain pemerintah membiayai dari segi subsidi
pengadaan mesin pemanasnya, perusahaan listrik pun mendukung dari segi
penurunan biaya listrik hingga terjangkau oleh semua kalangan.
Kebijakan seperti inilah yang perlu didorong oleh setiap negara lain; kebijakan yang multisektor, multistakeholders, dan terintegrasi satu sama lain. Muara dari kebijakan yang serupa akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat, sebab hakikatnya pemerintah menjadi “pelayan” bagi masyarakat. Sehingga masyarakat pun selalu berusaha terlibat dan antusias dalam usaha-usaha membangun bangsa dan negara dari tingkatan terendah.
Bayangkan ketika seorang dokter ditanya mengenai syarat pendukung agar kita bisa menjadi cerdas. Tentu banyak sekali saran yang bisa diberikan. Beberapa dari mereka akan menyarankan untuk selalu menerapkan pola hidup yang sehat. Ada pula yang memberi masukan agar kita mencoba melakukan hal-hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya, untuk meningkatkan wawasan dan skill. Nah, rasa-rasanya begitu pula perumpamaan yang dialami oleh sebuah kota ketika berkomitmen untuk menerapkan konsep kota cerdas. Kota tersebut seakan harus nampak bersih, sehat, nyaman, berubah (ada pembaruan) secara fisik, dan masyarakatnya pun sejahtera. Ini artinya apa? Ada semacam beban berat yang terkandung dalam istilah “kota cerdas” ini. Konsep yang pada hakikatnya berasal dari ide- ide perusahaan raksasa teknologi dunia barat periode awal 2000-an, agar operasionalisasi sebuah organisasi jauh lebih efektif dan efisien dengan bantuan teknologi. Jikalau pun dalam perkembangannya mengalami banyak sekali variasi terminologi, itu semata karena keinginan banyak pihak untuk mengadopsinya dalam lokus atau wadah yang berbeda saja, termasuk dalam skala perkotaan. Konsep “kota cerdas” yang digaungkan oleh negara-negara Eropa bisa saja sangat tepat sasaran dan baik pula untuk diambil sebagai pelajaran. Perekonomian rerata masyarakat mereka sudah berada di level kesejahteraan yang tinggi. Lantas bagaimana ketika konsep “kota cerdas” itu dibawa dan diterapkan secara masif di negara-negara belahan dunia selatan yang notabene belum selesai dengan berbagai permasalahan kemiskinan dan segala fenomena yang mengikutinya? Ketika sekelompok masyarakat kalangan bawah dijejali dengan seperangkat aturan dan mekanisme top-down yang asing bagi mereka, maka potensi defense-nya besar sekali. Informalitas pun tetap tumbuh subur mengiringi (calon) kota-kota cerdas.
Konsep yang Bersifat Top-Down
Banyak referensi, salah satunya Prasad et al (2023), yang mengungkap tentang betapa top-down-nya sifat dari penerapan konsep “cerdas” pada kota-kota di belahan dunia selatan (lokus penelitian mereka di India). Selain itu, Kominos et al (2019) menilai “kota cerdas” sebagai perencanaan yang parsial, dan mengistilahkannya sebagai “perencanaan tanpa rencana”. Cowley & Caprotti (2019) mengistilahkan komitmen “kota cerdas” bersifat oportunistik dan bukan dari hasil perencanaan yang disengaja. Parahnya lagi, inisiatif “kota cerdas” yang sering ter-fragmentasi membuat semakin dalamnya kesenjangan, baik secara sosial maupun spasial (Prasad et al, 2022). Hasil observasi langsung penulis juga di beberapa kota di Indonesia, seperti di Kota Cirebon, Semarang, dan Magelang; mengarah pada kesimpulan yang sama. Kebijakan untuk penerapan inisiatif “kota cerdas” menjadi semacam amanat langsung dari pemerintah pusat, dengan hanya melalui assessment “kecil-kecilan” berupa kemampuan keuangan daerah dan kesiapan sumber daya alamiahnya, serta didukung sungguh oleh komitmen pimpinan. Apakah inisiatif “kota cerdas” diawali dengan melakukan survei kebutuhan atau kemampuan masyarakat secara menyeluruh (door to door)? Tidak. Apakah komitmen “kota cerdas” menjadikan jumlah minimal penduduk miskin sebagai syarat diterimanya pemerintah daerah sebagai implementator? Tidak. Apakah dengan berinisiatif ikut program “kota cerdas” akan mendatangkan bantuan lebih banyak dari pemerintah pusat untuk membebaskan kemiskinan? Tidak juga. Jadi, tidak mengherankan ketika banyak sekali ditemukan ketidaksesuaian antara harapan dan realita di tengah- tengah masyarakat ketika implementasi dijalankan. Watson (2009) mengingatkan dengan tegas terhadap pandangan-pandangan elitis dari norma perencanaan masa kini yang cenderung mengabaikan tuntutan masyarakat miskin perkotaan, sehingga memaksa mereka melanggar aturan dan hukum yang berlaku.
Berkaca dari Informalitas di India
India memiliki persentase populasi yang sangat signifikan untuk belahan dunia selatan. Negara ini setidaknya terdiri dari 1,4 miliar penduduk menurut World Population Review 2020. Sejak tahun 2015 mereka telah menggagas Program 100 Kota Cerdas (Smart Cities Mission) untuk jangka waktu 5 tahun. Negara dengan kiblat perencanaan Neo-kolonial dan Pro-Barat yang menjadi salah satu pusat peradaban tertua dunia, pergeseran menuju asas-asas smart cities pasti sangat mengagetkan, terlebihdi kalangan masyarakatnya sendiri. Upaya mereka untuk lebih inklusif diterapkan dengan dua cara, yaitu pembangunan infrastruktur fisik dasar (air minum, sanitasi, listrik, dan transportasi, dan sebagainya), serta solusi “cerdas” seperti digitalisasi pemerintahan, memperkuat koneksi internet, dan semacamnya. Namun semakin kuat usaha pemerintah untuk mem-branding diri sebagai “kota cerdas”, beberapa realitas anti-klimaks makin bermunculan ke permukaan. Masyarakat yang berpikir kritis (cenderung ke arah kebingungan) mulai bertanya tentang 3 domain utama “kota cerdas”: siapa saja yang boleh mendapatkan perumahan yang terjangkau? Siapa pengguna bebas layanan infrastruktur? Warga dengan kriteria seperti apa yang ingin dilibatkan dalam konsep “kota cerdas”? Pada muaranya, pertanyaan lebih menohok lagi. Sebenarnya “kota cerdas” itu dimunculkan untuk siapa?

Halloo! Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Terima kasih sudah
jadi pembaca setia blog pribadi saya. Blog ini baru terbentuk selama setahun,
dan ini merupakan tulisan spesial edisi ulang tahun pertama. Pada bagian ini
saya ingin lebih merefleksikan apa saja yang telah saya capai dan lalui,
terutama terkait dengan keahlian saya, sekaligus sebagai cara saya
memperkenalkan diri lebih detail kepada para pembaca.
Nama lengkap saya Faqih Ashri. Saya lahir di Kota Bima di tahun 1990.
Sampai saat ini saya masih setia berdomisili di kota kelahiran, walaupun
beberapa tahun lamanya saya menghabiskan waktu di daerah rantauan untuk
menuntut ilmu dan mencari pengalaman.
Background pendidikan saya adalah Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota. S1-nya saya kuliah di Universitas Brawijaya Malang. S2-nya saya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saya begitu mencintai dunia perencanaan kota, bahkan jauh sebelum lulus dari bangku sekolah. Hampir tidak ada niat lain dalam hati untuk melanjutkan ke jurusan lain. Singkatnya, saya selalu dimudahkan untuk melalui ujian nasional masuk perguruan tinggi impian berkat niat yang kuat serta doa dari kedua orang tua.
Saya saat ini bekerja sebagai PNS pada Dinas PUPR Kota Bima. Saya
bergabung di pemerintah daerah sejak Maret 2019, melalui seleksi yang sangat
ketat. Sebelumnya saya sempat bekerja di salah satu Bank BUMN selama 4 tahun. Dua
tahun bekerja sebagai banker, saya langsung menikahi gadis pilihan saya di pertengahan
tahun 2016. Kini, kami telah dikaruniai dua orang jagoan dari hasil pernikahan itu.
Namun, penghasilan yang besar tidak lantas membuat saya nyaman bekerja. Idealisme
tentang penerapan ilmu perencanaan kota yang nihil membuat saya kerap merencanakan
untuk resign (keluar) dari bank. Akhirnya harapan itu menjadi kenyataan
di tahun 2018. Saya mengikuti seleksi CPNS dan berhasil mendapatkan peringkat
pertama dari hanya satu yang dibutuhkan, menyisihkan ratusan peminat pada
formasi yang saya tuju, yaitu analis pengembangan infrastruktur. Disinilah
kemudian saya menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Sejak usia sekolah saya sudah berkeinginan berkontribusi memajukan
daerah kelahiran. Bergabung di pemerintahan adalah sebagian dari mimpi yang
menjadi kenyataan. Rasa syukur itu saya wujudkan dalam bentuk upaya
mengembangkan diri dan tidak ingin berada di zona nyaman.
Saya suka bertemu dengan banyak orang, mendengarkan persepsi mereka, sehingga
dapat menganalisa bentuk-bentuk pola pikir manusia yang beragam. Saya tergabung
dalam organisasi profesi Ikatan Ahli Perencana (IAP) NTB dan memegang
sertifikasi perencana ahli muda. Hobi saya membaca dan menulis. Saya aktif
menulis opini tentang isu-isu pembangunan perkotaan melalui koran nasional,
koran lokal, blog pribadi, hingga personal media sosial.
Tahun pertama sebagai ASN, saya langsung mewakili dinas dalam ajang
inovasi dan teknologi tepat guna. Inovasi tersebut berupa penggunaan Sistem Informasi
Geospasial berbasis partisipasi partisipasi masyarakat guna mendeteksi dan
memetakan secara dini kebocoran pipa air minum di sekitar tempat tinggal
masyarakat. Inovasi ini berhasil menjadi runner-up di tingkat kota, walaupun
belum berhasil menembus hingga ke level nasional.
Tahun kedua mengabdi, saya memutuskan untuk mengikuti seleksi beasiswa
Magister dari Bappenas. Dan saya berhasil
menjadi lulusan tercepat dengan hanya 1 tahun 4 bulan dan berpredikat cumlaude.
Tesis saya tentang kerja sama pariwisata regional antara Kab. Magelang dan Kab.
Kulon Progo pun diakui serta digunakan oleh kedua pemerintah daerah sebagai
input dalam program dan kebijakan lanjutan mereka. Dan artikel jurnalnya saya
presentasikan dalam seminar internasional kala itu. Di kampus pascasarjana,
saya tidak hanya belajar. Saya aktif mengikuti lomba-lomba yang diadakan pihak
ekternal untuk mewakili kampus. Saya juga aktif bergabung dalam setiap kegiatan
UKM sepakbola pascasarjana dengan mengikuti setiap Latihan dan pertandingan melawan
tim-tim dari luar kampus.
Perlu digarisbawahi juga, jauh sebelum meninggalkan kota untuk tugas
belajar dari kantor, saya terlebih dahulu membimbing dan mengajari rekan kerja
CPNS yang baru bergabung tentang semua pekerjaan yang selama ini biasa saya handle.
Ini adalah sebuah komitmen knowledge transfer
yang saya lakukan agar urusan dinas tetap bisa berjalan lancar walaupun
dengan orang yang berbeda.
Sepulang dari tugas belajar, saya dibantu rekan satu ruangan, kembali
mewakili Kota Bima untuk mengikuti kompetisi inovasi (SINOVIK) dari
KemenPAN-RB. Inovasi kedua ini berupa upaya merevitalisasi aksi sedot tinja
untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kami berhasil masuk nominasi TOP
99 Nasional menyisihkan ribuan pesaing lain melalui proposal inovasi tersebut.
Selain mengikuti lomba, saya juga membantu 6 orang rekan kerja di bidang
saya untuk mengikuti uji kompetensi perpindahan dari jabatan pelaksana menjadi
jabatan fungsional, mulai dari mencari informasi awal ke kementerian, mengurus
syarat-syaratnya, hingga pelaksanaan uji kompetensinya. Saya dan 6 orang rekan
tersebut akhirnya berhasil lulus dengan meyakinkan tepat di tahun terakhir
kebijakan perpindahan jabatan.
Kini dan kedepannya saya sangat fokus mengembangkan diri, menjalankan
pekerjaan sebagai hobi, serta paling utama adalah untuk terus menjaga dan
memperkaya data perencanaan dan pembangunan kota, baik dalam bentuk struktural
maupun spasial. Karena data adalah unsur paling pentin dalam arah pembangunan
daerah yang tepat guna dan berhasil guna.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Jangan lupa follow blog ini
untuk mendapatkan update tulisan terbaru dari saya. Sehat dan sukses untuk kita
semua!
Sumber Foto: Kahaba.net |
Romantisme kenangan itu kini bagai hilang ditelan
bumi. Angkot-angkot “mewah” dan meriah itu sudah tak pernah nampak di jalanan
kota kami. Ya, kota kecil kami setidaknya hanya memiliki angkot dan bus
konvensional sebagai angkutan umum andalan di darat. Tidak ada yang namanya kereta
api, trem, atau bahkan jalur khusus “busway”. Transportasi tradisional serupa
delman yang kami sebut “benhur” pun nyaris hilang bersama dengan hilangnya angkot.
Ruas-ruas jalan dipenuhi dengan angkutan-angkutan pribadi, baik roda dua maupun
roda empat. Kota kami berubah menjadi kota konsumtif. Kota kami menjelma
menjadi pangsa pasar potensial bagi segala macam kendaraan pribadi keluaran
terbaru. Selalu muncul orang-orang kaya baru yang entah dengan cara apa mereka
bisa memiliki kendaraan-kendaraan baru yang bahkan belum sempat terbayangkan modelnya.
Bayangkan kendaraan beragam bentuk itu berlalu lalang di daerah yang batas dari
ujung ke ujungnya tidak sampai 20 kilometer. Daerah yang sangat mungil, namun
gaya hidup orang-orangnya semakin membesar.
Arah Angin Berubah Drastis
Lantas apa yang membuat roda nasib itu berputar sedemikian cepatnya bagi angkutan umum? Era modern membawa berbagai perubahan yang belum sempat terpikirkan oleh para pemain-pemain bisnis lama yang tengah menikmati masa jayanya. Kebiasaan menggunakan transportasi umum tiba-tiba berubah menjadi tidak bergengsi lagi. Hal ini berlangsung seiring dengan kualitas kendaraan yang menurun, harga tiket yang meningkat, dan isu kenyamanan serta keamanan yang mengancam. Kualitas kendaraan yang menurun ditandai dengan semakin seringnya mogok dan kecepatan yang berkurang. Isu kejahatan di atas kendaraan yang semakin kencang berhembus sangat menurunkan minat pengguna untuk kembali menggunakan moda transportasi umum. Beberapa hal lain yang ditengarai menjadi penyebab ditingalkannya kendaraan umum secara masif, yaitu:
- Perkembangan Teknologi
- Persaingan dengan Kendaraan Pribadi
- Infrastruktur yang Kurang Memadai
- Sulitnya Merubah Kebiasaan yang Mulai Membudaya
Semua kenyataan yang harus dihadapi oleh angkutan umum itu, membawa saya pada bayangan tentang jurang kehancuran yang dihadapi oleh raksasa teknologi bernama NOKIA. Dahulu, di masa kejayaannya, hampir setiap orang di dunia mengenal dan menggunakannya. Namun alur nasib yang tak terduga membawanya pada kenyataan yang sama sekali tak terbayangkan. Orang-orang mulai berangsur melupakan namanya, sekuat apa pun dirinya mencoba untuk bertahan. Bahwa inovasi dan teknologi harus terus berlangsung, agar terus bertahan dalam dunia yang penuh perubahan tak berujung.